Minggu, 26 September 2010

ADAB MEMBACA AL QUR'AN

Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun. Al Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR: Bukhari)
Ketika membaca Al-Qur’an, maka seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an:
Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan tenang.
Dalam membaca Al-Qur’an seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun, diperbolehkan apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata, “Orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)
Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:“Siapa saja yang membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami.” (HR: Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)
Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al-Qur’an setiap satu minggu (7 hari) (HR: Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.
Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis, karena sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS: Al-Isra’: 109). Namun demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.
Membaguskan suara ketika membacanya.
Sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (HR: Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan, yang artinya: “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR: Bukhari dan Muslim). Maksud hadits ini adalah membaca Al-Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak perlu melenggok-lenggokkan suara di luar kemampuannya.
Membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan bila kamu akan membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk.” (QS: An-Nahl: 98)
Membaca Al-Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih secara khusyu’.
Rosululloh shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, yang artinya: “Ingatlah bahwasanya setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca (Al-Qur’an).” (HR: Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim). Wallohu a’lam.

TENTANG TAHLIL-AN


Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain.
 Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?
Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).
Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya).
Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dengan ayat “DAN ORANG ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”,
Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir dll
 
Untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Qur’an untuk mendoakan orang yang telah wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN”, (QS Al Hasyr-10).
  Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir.
  Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yang awam. Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab, bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,
Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang mengada ada dari kesempitan pemahamannya.
 Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yang melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yang sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).
 Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka  ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).
 Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw, ia membuat buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak melarangnya bahkan memujinya.
 Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw :
 Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”.
 Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw”.
 Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H
 Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).

Kamis, 23 September 2010

Abuya KH Muhammad Dimyathi Banten


KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati adalah sosok yang kharismatis. Beliau dikenal sebagai pengamal tarekat Syadziliyah dan melahirkan banyak santri berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya. Nama lengkapnya
Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad  Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar hingga mancanegara.
Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol. Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1925 dikenal pribadi bersahaja  dan penganut tarekat yang disegani.
Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya  di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut  tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
Tidak salah kalau sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak pernah sepi dari  kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga sampai wafatnya.
Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj. Ruqayah sejak kecil memang sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren seperti Pesantren Cadasari, Kadupeseng Pandeglang. Kemudian ke pesantren di Plamunan hingga Pleret Cirebon.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’i annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan santri mengaji.

Jalan Spritual
Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang unik. Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain selalu dengan kegiatan Abuya mengaji dan mengajar. Hal inipun diterapkan kepada para santri. Dikenal sebagai  ulama yang komplet karena tidak hanya mampu mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat. Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jally, naskhy dan lain sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu membaca al Quran.
Bagi Abuya hidup adalah Tidak salah kalau KH Dimyati , Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib.  Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam. Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga subuh.
Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH Baidlowi, Lasem. Ketika bertemu dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin mengebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.” Sampai pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon diwarisi thariqah.  KH Baidlowio pun menjawab,” Mbah Dim, dzikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan selawat.”  Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya untuk solat istikharah. Setelah melaksanakan solat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH Baidlowi yang kemudian diijazahi Thariqat Asy  Syadziliyah.
Dipenjara Dan Mbah Dalhar
Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan kemudian Abuya keluar dari penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib nashr dan hidzib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/ 1959 M. Kemudian kitab Aslul Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hidzib Nasr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hidzib Nasr.
Selanjutnya kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya membahas tentang tarekat Syadziliyyah. Ada cerita-cerita menarik seputar Abuya dan pertemuannya dengan para kiai besar. Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan mau jauh-jauh datang ke sini?” tanya kiai Dalhar. Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.” Kemudian  Kiai Dalhar pun berkata,” Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.”
Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang?” Kemudian Kiai Dalhar memberi saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri yang ada di sini dan sampeyan jangan punya teman.” Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah tareqat Syadziliyah kepada Abuya.
Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyati tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun.


Biografi KH Wahid Hasyim


Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim adalah pahlawan nasional, salah seorang anggota BPUPKI dan perumus Pancasila. Putera KH. M. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, ini lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 dan wafat di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 pada usia 38 tahun. Ayahanda Abdurrahman Wahid ini menjabat Menteri Agama tiga kabinet (Kabinet Hatta, Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman).
 Mantan Ketua Tanfidiyyah PBNU (1948) dan Pemimpin dan pengasuh kedua Pesantren Tebuireng (1947 – 1950) ini, merupakan reformis dunia pendidikan pesantren dan pendidikan Islam Indonesia. Ia dikenal juga sebagai pendiri IAIN (sekarang UIN).
 Pada tahun 1939, ia ikut berperan pada saat NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam di zaman pendudukan Belanda. Pada 24 Oktober 1943 ia terpilih menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebuah organisasi menggantikan MIAI.
Saat pemimpin Masyumi ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang aktif membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Tahun 1944, ia ikut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (UIN) di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir. Tahun 1945 ia pun menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.

Wahid Hasjim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal 19 April 1953.
 
Menimba Ilmu
Wahid Hasjim lahir dari buah kasih KH. M. Hasyim Asy’ari-Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas (Madiun) pada pagi Jum’at legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M. Ayahandanya semula memberinya nama Muhammad Asy’ari, diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya kemudian diganti menjadi Abdul Wahid, diambil dari nama datuknya. Dia anak kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.

Masa kecilnya diisi dengan pengasuhan di Madrasah Tebuireng hingga usi 12 tahun. Sejak kecil sudah hobi membaca dan giat memelajari ilmu-ilmu kesustraan dan budaya Arab secara outodidak. Dia hafal banyak syair Arab yang kemudian disusun menjadi sebuah buku.

Pada usia 13 tahun, ia sempat mondok dan belajar di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo, selama 25 hari, mulai awal Ramadhan hingga tanggal 25 Ramadhan. Kemudian pindah ke Pesantren Lirboyo, Kediri, sebuah pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul Karim, teman dan sekaligus murid ayahnya.
 Kemudian, pada usia 15 tahun, ia kembali ke Tebuireng dan baru mengenal huruf latin. Setelah mengenal huruf latin, semangat belajarnya semakin bertambah. Ia belajar ilmu bumi, bahasa asing, matematika, dll. JUga rajin membaca koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun Arab.

Ia pun mulai belajar Bahasa Arab dan Belanda ketika berlangganan majalah tiga bahasa, ”Sumber Pengetahuan” Bandung. Setelah itu belajar Bahasa Inggris.

Ketika umurnya baru 18 tahun, pada tahun 1932, Abdul Wahid pergi ke tanah suci Mekkah bersama sepupunya, Muhammad Ilyas. Mereka berdua, selain menjalankan ibadah haji, juga memperdalam ilmu pengetahuan seperti nahwu, shorof, fiqh, tafsir, dan hadis. Ia menetap di tanah suci selama 2 tahun.
 
Terobosan Kurikulum Pesantren
Sepulang dari tanah suci, ia membantu ayahnya mengajar di pesantren. Juga giat terjun ke tengah-tengah masyarakat. Pada usianya baru menginjak 20-an tahun, Kiai Wahid sudah membantu ayahnya menyusun kurikulum pesantren, menulis surat balasan dari para ulama atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili sang ayah dalam berbagai pertemuan dengan para tokoh.
 Beliau sudah menggantikan membaca kitab Shahih Bukhari, yakni pengajian tahunan yang diikuti oleh para ulama dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura.

Dia pun melakukan terobosan-terobosan besar di Tebuireng. Dia mengusulkan untuk merubah sistem klasikal dengan sistem tutorial, serta memasukkan materi pelajaran umum ke pesantren. Namun, usul ini ditolak oleh ayahnya, karena khawatir akan menimbulkan masalah antar sesama pimpinan pesantren. Tetapi kemudian pada tahun 1935, usulannya tentang pendirian Madrasah Nidzamiyah, dimana 70 persen kurikulum berisi materi pelajaran umum, diterima oleh sang ayah.

Pada tahun 1936, Kiai Wahid mendirikan Ikatan Pelajar Islam. Ia juga mendirikan taman bacaan (Perpustakaan Tebuireng) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku. Perpustakaan ini juga berlangganan majalah seperti Panji Islam, Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan lain sebagainya. Ini merupakan terobosan pertama yang dilakukan pesantren manapun di Indonesia.

Lalu, ia menikah dengan Munawaroh (lebih dikenal dengan nama Sholichah), putri KH. Bisyri Sansuri (Denanyar Jombang) pada hari Jumat, 10 Syawal 1356 H./1936 M. Pada prosesi pernikahan ini, ia hanya berangkat seorang diri ke Denanyar dengan hanya memakai baju lengan pendek dan bersarung. Bukan lantaran tidak ada yang mau mengantar, akan tetapi ia sendiri yang meninggalkan para pengiringnya di belakang.

Pernikahan Wahid-Sholichah dikaruniai enam orang putra-putri, yaitu Abdurrahman, Aisyah, Salahuddin, Umar, Lily Khodijah, dan Muhammad Hasyim.

Sembilan tahun kemudian, 1947, ayahnya KH. M. Hasyim Asy’ari meningal dunia. Kiai Wahid pun terpilih secara aklamasi sebagai pengasuh Tebuireng menggantikan ayahandanya. Pilihan ini berdasarkan kesepakatan musyawarah keluarga Bani Hasyim dan Ulama NU Kabupaten Jombang.

Masuk NU dan Mendirikan Masyumi
Di tengah kesibukannya mengelola Tebuireng, Kiai Wahid aktif menjadi pengurus NU. Dimulai jadi Sekertaris NU Ranting Cukir, kemudian terpilih sebagai Ketua Cabang NU Kabupaten Jombang, 1938 dan Pengurus PBNU bagian ma’arif (pendidikan), 1940. Ia giat mengembangkan dan mereorganisasi madrasah-madrasah NU di seluruh Indonesia. Ia menerbitkan Majalah Suluh Nahdlatul Ulama dan juga aktif menulis di Suara NU dan Berita NU.
 Kemudian tahun 1946, Kiai Wahid terpilih sebagai Ketua Tanfidiyyah PBNU menggantikan Kiai Achmad Shiddiq yang meninggal dunia.

Pada bulan November 1947, Wahid Hasyim bersama M. Natsir menjadi pelopor pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia yang diselenggarakan di Jogjakarta. Dalam kongres itu diputuskan pendirian Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia. Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri, Kiai Hasyim Asy’ari. Namun Kiai Hasyim melimpahkan semua tugasnya kepada Wahid Hasyim.

Dalam Masyumi tergabung tokoh-tokoh Islam nasional, seperti KH. Wahab Hasbullah, KH. Bagus Hadikusumo, KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, KH. Zainul Arifin, Mohammad Roem, dr. Sukiman, H. Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito, Anwar Cokroaminoto, Mohammad Natsir, dan lain-lain.

Sejak awal tahun 1950-an, NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri. Kiai Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Partai NU. Keputusan ini diambil dalam Kongres ke-19 NU di Palembang (26-April-1 Mei 1952). Secara pribadi, Kiai Wahid tidak setuju NU keluar dari Masyumi. Akan tetapi karena sudah menjadi keputusan bersama, maka Kiai Wahid menghormatinya. Hubungan Kiai Wahid dengan tokoh-tokoh Masyumi tetap terjalin baik.

Pahlawan Nasional
Pada tahun 1939, NU masuk menjadi anggota Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), sebuah federasi partai dan ormas Islam di Indonesia. Setelah masuknya NU, dilakukan reorganisasi dan saat itulah Kiai Wahid terpilih menjadi ketua MIAI, dalam Kongres tanggal 14-15 September 1940 di Surabaya.

Di bawah kepemimpinan Kiai Wahid, MIAI melakukan tuntutan kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk mencabut status Guru Ordonantie tahun 1925 yang sangat membatasi aktivitas guru-guru agama. Bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan PVPN (Asosiasi Pegawai Pemerintah), MIAI juga membentuk Kongres Rakyat Indonesia sebagai komite Nsional yang menuntut Indonesia berparlemen.

Menjelang pecahnya Perang Dunia ke-II, pemerintah Belanda mewajibkan donor darah serta berencana membentuk milisi sipil Indonesia sebagai persiapan menghadapi Perang Dunia. Sebagai ketua MIAI, Wahid Hasyim menolak keputusan itu.

Ketika pemerintah Jepang membentuk Chuuo Sangi In, semacam DPR ala Jepang, Kiai Wahid dipercaya menjadi anggotanya bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya, seperti Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr. Sartono, M. Yamin, Ki Hajat Dewantara, Iskandar Dinata, Dr. Soepomo, dan lain-lain. Melalui jabatan ini, Kiai Wahid berhasil meyakinkan Jepang untuk membentuk sebuah Badan Jawatan Agama guna menghimpun para ulama.

Pada tahun 1942, Pemerintah Jepang menangkap Hadratusy Sayeikh Kiai Hasyim Asy'ari dan menahannya di Surabaya. Wahid Hasyim berupaya membebaskannya dengan melakukan lobi-lobi politik. Hasilnya, pada bulan Agustus 1944, Kiai Hasyim Asy'ari dibebaskan. Sebagai kompensasinya, Pemerintah Jepang menawarinya menjadi ketua Shumubucho, Kepala Jawatan Agama Pusat. Kiai Hasyim menerima tawaran itu, tetapi karena alasan usia dan tidak ingin meninggalkan Tebuireng, maka tugasnya dilimpahkan kepada Kiai Wahid.

Bersama para pemimpin pergerakan nasional (seperti Soekarno dan Hatta), Wahid Hasyim memanfaatkan jabatannya untuk persiapan kemerdekaan RI. Dia membentuk Kementerian Agama, lalu membujuk Jepang untuk memberikan latihan militer khusus kepada para santri, serta mendirikan barisan pertahanan rakyat secara mandiri. Inilah cikal-bakal terbentuknya laskar Hizbullah dan Sabilillah yang, bersama PETA, menjadi embrio lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Pada tanggal 29 April 1945, pemerintah Jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyooisakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Wahid Hasyim menjadi salah satu anggotanya. Dia merupakan tokoh termuda dari sembilan tokoh nasional yang menandatangani Piagam Jakarta, sebuah piagam yang melahirkan proklamasi dan konstitusi negara. Dia berhasil menjembatani perdebatan sengit antara kubu nasionalis yang menginginkan bentuk Negara Kesatuan, dan kubu Islam yang menginginkan bentuk negara berdasarkan syariat Islam. Saat itu ia juga menjadi penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Di dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Sukarno (September 1945), Kiai Wahid ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP dibentuk, Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP tahun 1946.

Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman.
Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Kiai Wahid mengeluarkan tiga keputusan yang sangat mepengaruhi sistem pendidikan Indonesia di masa kini, yaitu :
1. Mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta.
2. Mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta.
3. Mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga.
Jasa lainnya ialah pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun 1944), yang pengasuhannya ditangani oleh KH. Kahar Muzakkir. Lalu pada tahun 1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN, serta mendirikan wadah Panitia Haji Indonesia (PHI). Kiai Wahid juga memberikan ide kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid negara.
 
Pada tahun 1950, Kiai Wahid diangkat menjadi Menteri Agama dan pindah ke Jakarta. Keluarga Kiai Wahid tinggal di Jl. Jawa (kini Jl. HOS Cokroaminoto) No. 112, dan selanjutnya pada tahun 1952 pindah ke Taman Matraman Barat no. 8, di dekat Masjid Jami’ Matraman.

Musibah di Cimindi
Hari itu, Sabtu 18 April 1953, Kiai Wahid bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Kiai Wahid ditemani tiga orang, yakni sopirnya dari harian Pemandangan, rekannya Argo Sutjipto, dan putera sulungnya Abdurrahman Ad-Dakhil (Gus Dur). Kiai Wahid duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto. Daerah di sekitar Cimahi waktu itu diguyur hujan lebat sehingga jalan menjadi licin. Lalu lintas cukup ramai.

Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung, mobil yang ditumpangi Kiai Wahid selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakangnya banyak iringan-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan, sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur badan truk dengan kerasnya. Ketika terjadi benturan, Kiai Wahid dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. Kiai Wahid terluka bagian kening, mata, pipi, dan bagian lehernya. Sedangkan sang sopir dan Gus Dur tidak cedera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula.

Kiai Hasyim dan Argo Sutjipto kemudian dibawa ke Rumah Sakit Boromeus Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, keduanya tidak sadarkan diri. Keesokan harinya, Ahad, 19 April 1953 pukul 10.30, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah Swt. dalam usia 39 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00 Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Khalik. Inna liLlahi wa Inna ilayhi Raji’un.

Jenazah Kiai Wahid kemudian dibawa ke Jakarta, lalu diterbangkan ke Surabaya, dan selanjutnya dibawa ke Jombang untuk disemayamkan di pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng. Atas jasa-jasanya beliau juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah.
Kiai Wahid Hasyim adalah putra dari Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, salah satu pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) dan ayah dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Wahid Hasyim adalah salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH Hasyim Asy’ari. Silsilahnya dari jalur ayah bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Islam Demak. Sedangkan dari jalur ibunya, bersambung hingga Ki Ageng Tarub. Dan bila dirunut lebih jauh, kedua silsilah itu bertemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja kerajaan Mataram. Maka tidak heran jika pada akhirnya Wahid Hasyim menjadi seorang figur, panutan masyarakat, bahkan gelar pahlawan nasionalpun ia raih. Karena Wahid Hasyim dikenal sebagai sosok yang mempunyai banyak sumbangsih terhadap negara Indonesia, khususnya dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Selain dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, Wahid Hasyim aktif dibeberapa organisasi kemasyarakatan seperti MIAI, Masyumi, Liga Muslimin Indonesia, hingga di organisasi terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU). Di beberapa organisasi tersebut ia selalu dipercaya untuk menjadi Rais Akbarnya. Namun yang paling banyak memberikan sumbangsih dan mengabdi terhadap organisasi yaitu di jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi yang didirikan oleh ayahnya, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari.

Karirnya di NU dimulai dari pengurus ranting NU Cukir Jombang, ketua NU Cabang Jombang, hingga kemudian pada tahun 1940 dipilih menjadi anggota PBNU bagian Ma’arif (pendidikan). Dari sinilah, perjuangan di NU mulai banyak peningkatan sampai akhirnya pada tahun 1946 Wahid Hasyim diberikan amanah sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU menggantikan Kiai Ahmad Shiddiq.

Pada masa kepemimpinannya di NU, Wahid Hasyim tidak hanya berkiprah memajukan serta meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan. Beliau juga mampu berkiprah dalam perjuangan politik. Namun perjuangan politiknya bukan perjuangan politik pragmatis untuk memperoleh sebuah kekuasan dan kepentingan pribadi, melainkan ia mampu berkiprah memperjuangkan politik kebangsaan dan kerakyatan. Kiprah Wahid Hasyim di NU benar-benar mengabdi untuk NU, sehingga pada tahun 1939 atas nama wakil NU, ia mampu membawa NU masuk bergabung dalam MIAI sebuah perkumpulan dari berbagai organisasi Islam dalam satu wadah. Jadi, pada usia 25-26 tahun Wahid Hasyim sudah menjadi ketua pergerakan dengan skala nasional dalam dua organisasi.

Selain itu, Wahid Hasyim pernah mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dengan mengajak M Natsir dan Anwar Cokrominoto, mereka menggerakkan pemuda Islam yang militan, berani berjihad untuk agama, bangsa, dan tanah airnya. Gerakan ini ini diberi nama GPPI (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), yang lahir  pada tanggal 2 Oktober 1945. GPPP ini lahir, sebagai organisasi gerakan kepemudaan Islam yang bergerak dalam lapangan politik dan memiliki kecenderungan radikal (hal. 37).

Sejak itulah, kita mengetahuai bahwasanya Wahid Hasyim adalah tokoh pergerakan yang mampu membangkitkan NU di pentas nasional. Ia juga mampu meningkatkan bidang pendidikan dan sosial-politik NU. Dengan semua ini, Wahid Hasyim bisa menunjukkan bahwa NU mempunyai kualitas dan bisa berkiprah walaupun warganya mayoritas berlatar belakang kalangan tradisionalis (pesantren).

Meskipun berlatar belakang dari kalangan tradisionalis, ia tetap konsisten, ikhlas, dan sabar dalam mengabdi pada NU. Dengan kekonsistenan, keikhlasan, dan kesabaran dalam mengabdi di NU, akhirnya NU memberikan sebuah “barokah” (nilai tambah), pada tahun 1949-1952 Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama. Dengan bermodal perjuangan dan mengabdi pada bangsa Indonesia khususnya NU, akhirnya Wahid Hasyim mampu menjadi seorang yang sukses, diterima oleh banyak kalangan, memimpin organisasi terbesar di Indonesia seperti, jam’iyah Nadlatul Ulama (NU) dan organisasi terbesar lainnya yang berskala nasional hingga dipercaya menjadi Menteri Agama.

Buku “Biografi Singkat Kiai Wahid Hasyim” ini, menceritakan sejak ia lahir, pendidikan, kaya-karyanya, perjuangannya di Pesantren Tebuireng Jombang hingga pada saat aktif diberbagai organisasi keagamaan kemasyarakatan yang berskala nasional khususnya di jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Juga beberapa pemikirannya tercantum dalam buku ini, mulai tentang agama dan negara, politik, pergerakan, perjuangan umat Islam, pendidikan dan pengajaran, hingga tentang pemikiran Kementerian Agama.

Salah satu pemikiran Wahid Hasyim yang menarik dalam buku ini, adalah tentang pemikiran politiknya. Pemikiran dan gerakan politik Wahid Hasyim adalah kebangsaan, kerakyatan, membela negara mengayomi masyarakat. Politik bagi Wahid Hasyim bukanlah sebagai kendaraan untuk meraih sebuah kekuasaan dan jabatan, melainkan ia untuk mengabdi untuk negara, mengayomi masyarakat dari semua golongan. Namun kenyataannya sampai sekarang justru politik dianggap sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan, jabatan, demi kepentingannya sendiri.

Dari buku ini, setidaknya dapat menjadi langkah awal sejauh mana kita mengenal sosok dan latar belakang Wahid Hasyim. Agar supaya muncul penulis dan peneliti yang mampu menulis biografi para tokoh, Kiai, yang mempunyai banyak sejarah dan sumbangsih terhadap negara. Dengan harapan bisa diteladani oleh masyarakat khususnya para santri pondok pesantren. Semoga pejuangan yang dilakukan oleh Wahid Hasyim untuk Negara, masyarakat, khususnya warga nahdliyin bermamfaat dan barokah. Amin

Senin, 06 September 2010

BERAPA LAMA KITA SUJUD

Berapa lamakah kita shalat dalam sehari semalam? Jika setiap rakaat kita perkirakan dua menit, maka dalam sehari-semalam jumlahnya ada 34 menit. Artinya, dalam sehari hanya kita isi sebanyak 2,4 persen dari 1440 menit. Dalam satu minggu, berarti ada 238 menit atau 3,96 jam. Dalam satu bulan, lama shalat kita sebanyak 952 menit atau 15,86 jam. Dan setahun, ada 11.424 menit atau 190,4 jam, yang berarti setara dengan 7,93 hari.

Jika rata-rata usia hidup manusia selama 60 tahun, dan dikurangi dengan 10 tahun masa awal akil baligh (dewasa), maka hanya 50 tahun seseorang melaksanakan shalat dalam hidupnya. Itu berarti, sepanjang hidupnya ia melaksanakan shalat fardlu selama 571.200 menit atau sekitar 9.520 jam, atau 396,7 hari (1,1 tahun).

Bisa dibayangkan, selama hidup, kita hanya butuh waktu untuk shalat fardhu selama 1,1 tahun, atau dalam satu tahun hanya 7,93 hari, atau dalam satu hari hanya 34 menit. Dari sini terlihat betapa jauhnya perbandingan ketaatan kita kepada Allah SWT dengan nikmat yang diberikan-Nya kepada kita dengan nikmat usia.

Maka, sangat disayangkan apabila ada orang yang tidak melaksanakan shalat karena alasan tidak ada waktu atau sibuk. Padahal, jika kita jujur terhadap diri sendiri, kita mampu berlama-lama bertelepon, nongkrong di depan komputer, jalan-jalan, nonton TV, dan lain sebagainya.

Ingatlah, Abu Zubair menceritakan bahwa dia mendengar Jabir bin Abdullah berkata, ''Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran itu terdapat perbuatan meninggalkan shalat'." (HR Muslim).

Oleh karena itu, jangan pernah merasa puas dan berbangga diri dengan ibadah yang telah kita laksanakan. Sebab, bisa jadi ibadah kita, terutama shalat, tidak akan berarti apa-apa bila hal itu kita kerjakan dengan tidak ikhlas. Apalagi berharap surga. Allah menyindir orang yang demikian dengan pendusta agama. (QS Al-Maun [107]: 1-7).

Jadi, jangan hanya mengandalkan masuk surga dengan selembar tiket shalat fardhu. Silakan menjaring rahmat Allah dengan banyak beramal saleh. Berinfak, zakat, puasa, haji, akur dengan tetangga, menyambung silaturahim, mengurus keluarga, belajar, menyantuni anak yatim, tidak membuang sampah sembarangan, bahkan hanya tersenyum kepada teman pun termasuk amal shaleh. Wallahu a'lam.